Selasa, 09 Oktober 2012

ADHD

Silahkan sedot aja, klik dibawah ini...
  1. Askep ADHD
  2. Daftar Pustaka
  3. Ppt ADHD

RJP/CPR Menuruh AHA 2010


BAB I
PENDAHULUAN


1.1    Latar Belakang
Kongres Amerika menetapkan bulan Oktober sebagai 'Bulan Kesadaran Nasional terhadap Jantung yang Mendadak Berhenti Berdenyut' (National Sudden Cardiac Arrest Awareness Month - Reuter, Pittsburg 1 Oktober 2008). Penetapan ini dibuat bukan tanpa alasan, karena cardiac arrests adalah penyebab kematian nomor satu dalam masyarakat Amerika. Angka kematian cardiac arrest lebih tinggi daripada gabungan angka-angka kematian kanker payudara, kanker paru-paru, dan HIV/AIDS (The American Heart Association-2008).
Penyebab utama dari cardiac arrest adalah aritmia, yang dicetuskan oleh beberapa faktor, diantaranya penyakit jantung koroner, stress fisik (perdarahan yang banyak, sengatan listrik, kekurangan oksigen akibat tersedak, tenggelam ataupun serangan asma yang berat), kelainan bawaan, perubahan struktur jantung (akibat penyakit katup atau otot jantung) dan obat-obatan. Penyebab lain cardiac arrest adalah tamponade jantung dan tension pneumothorax.
Cardiac arrest dapat terjadi pada orang dewasa dan anak-anak. Hal ini dapat juga terjadi secara tiba-tiba pada seseorang yang terlihat sehat, dan menyebabkan kematian yang mendadak atau sudden cardiac death (SCD). Hal ini merupakan suatu kegawat daruratan medis, dapat berpotensi untuk membaik jika ditangani seawal mungkin. Penanganan pertama untuk cardiac arrest adalah cardiopulmonary resuscitation (biasa disebut CPR) yang akan mendukung sirkulasi peredaran darah sampai tersedia perawatan medis yang pasti.
Penanganan berikutnya sangat bergantung pada irama jantung yang terlihat pada pemeriksaan lanjutan, apakah terdapat aritmia atau tidak, tetapi sering kali diperlukan defibrillasi untuk mengembalikan irama jantung normal sebab sebagian besar cardiac arrest terjadi akibat ventricular fibrillation dan ventricular tachicardia. Saat ini, cardiac arrest masih merupakan penyebab utama kematian di dunia. Sekitar separuh dari semua kematian akibat penyakit jantung digolongkan sebagai sudden cardiac death.
Resusitasi jantung paru adalah suatu tindakan pertolongan yang dilakukan kepada korban yang mengalami henti napas dan henti jantung. Keadaan ini bisa disebabkan karena korban mengalami serangan jantung (heart attack), tenggelam, tersengat arus listrik, keracunan, kecelakaan dan lain-lain. Pada kondisi napas dan denyut jantung berhenti maka sirkulasi darah dan transportasi oksigen berhenti, sehingga dalam waktu singkat organ-organ tubuh terutama organ fital akan mengalami kekurangan oksigen yang berakibat fatal bagi korban dan mengalami kerusakan.
Organ yang paling cepat mengalami kerusakan adalah otak, karena otak hanya akan mampu bertahan jika ada asupan gula/glukosa dan oksigen. Jika dalam waktu lebih dari 10 menit otak tidak mendapat asupan oksigen dan glukosa maka otak akan mengalami kematian secara permanen. Kematian otak berarti pula kematian si korban. Oleh karena itu Golden Periode (waktu emas) pada korban yang mengalami henti napas dan henti jantung adalah dibawah 10 menit. Artinya dalam watu kurang dari 10 menit penderita yang mengalami henti napas dan henti jantung harus sudah mulai mendapatkan pertolongan. Jika tidak, maka harapan hidup si korban sangat kecil. Adapun pertolongan yang harus dilakukan pada penderita yang mengalami henti napas dan henti jantung adalah dengan melakukan resusitasi jantung paru / CPR.
1.2    Rumusan Masalah
1.2.1        Apa yang dimaksud dengan Cardiac Arrest ?
1.2.2        Apa yang dimaksud dengan RJP ?
1.2.3        Bagaimana Perbedaan RJP Menurut AHA Tahun 2005 dan Tahun 2010 ?
1.2.4        Bagaimana langkah-langkah RJP menurut AHA Tahun 2010 ?
1.2.5        Apa yang dimaksud dengan Emergency Medical Service?

Silahkan klik Di Sini untuk membaca selengkapnya...

Dispnea (Sesak Napas)


SESAK NAPAS/DISPNEA
 
Dispnea atau sesak napas merupakan perasaan sulit bernapas ditandai dengan napas yang pendek dan penggunaan otot bantu pernapasan. Dispnea dapat ditemukan pada penyakit kardiovaskuler, emboli paru, penyakit paru interstisial atau alveolar, gangguan dinding dada, penyakit obstruktif paru (emfisema, bronkitis, asma), kecemasan (Price & Wilson, 2006).

Kamis, 04 Oktober 2012

Angka Kejadian TB Paru


EPIDEMIOLOGI TB PARU

Diperkirakan sekitar sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi oleh Mycobacterium tuberkulosis. Pada tahun 1995, diperkirakan ada 9 juta pasien TB baru dan 3 juta kematian akibat TB diseluruh dunia. Diperkirakan 95% kasus TB dan 98% kematian akibat TB didunia, terjadi pada negara-negara berkembang. Disekitar tahun 1880an di Skotlandia dilaporkan terdapat 350/100.000 penduduk meninggal akibat TB, Denmark 220/100.000 penduduk, Swiss 250/100.000 penduduk. Di Massachusets, New York dan Boston 300/100.000 penduduk. Data tahun 1990an menunjukkan di Cekoslowakia terdapat 400/100.000 penduduk, Belanda 200/100.000 penduduk dan Norwegia 300/100.000 penduduk. Demikian juga, kematian wanita akibat TB lebih banyak dari pada kematian karena kehamilan, persalinan dan nifas.
Dari seluruh kematian yang dapat dicegah, 25% diantaranya disebabkan oleh TB. Saat ini di Negara maju diperkirakan setiap tahunnya 10 -20 kasus baru setiap 100.000 penduduk dengan kematian 1 – 5 per 100.000 penduduk sedang di negara berkembang angkanya masih tinggi. Di Afrika setiap tahunnya muncul 165 penderita TB paru menular setiap 100.000 penduduk. Ditahun 1990 yang lalu di kawasan Asia Tenggara telah muncul 3,1 juta penderita baru TB dan terjadi lebih dari 1 juta kematian akibat penyakit ini. Di tahun 2000 di seluruh dunia muncul lebih dari 10,2 juta penderita baru TB serta 3,5 juta kematian. Pada tahun 2000 di kawasan Asia Tenggara ada lebih dari 3,9 juta penderita baru TB dan lebih dari 1,3 juta kematian. Kalau kita jumlahkan maka dekade 1990 – 1999 diseluruh dunia muncul 88 juta penderita TB, dan akan terjadi 30 juta kematian di dunia ini. Pada dekade yang sama di Asia Tenggara, tempat kita tinggal, timbul lebih dari 35 juta penderita TB paru baru dan ditemui pula lebih dari 12 juta orang yang meninggal akibat penyakit ini.
Penyakit tuberkulosis (TB) paru di Indonesia masih merupakan masalah kesehatan masyarakat, survey kesehatan rumah tangga (SKRT) Departemen Kesehatan RI 2001, penyakit pada sistem pernapasan merupakan penyebab kematian kedua setelah sistem sirkulasi, pada semua kelompok umur dan menurut survey kesehatan rumah tangga (SKRT) Departemen Kesehatan RI 1992 TB paru sebagai penyebab kematian nomor tiga setelah penyakit jantung dan penyakit saluran pernapasan, sedang pada 2001 TB nomor satu penyebab kematian dari golongan infeksi.
Berdasarkan Global Report TB WHO tahun 2011, prevalensi TB diperkirakan sebesar 289 per 100.000 penduduk, insidensi TB sebesar 189 per 100.000 penduduk, dan angka kematian sebesar 27 per 100.000 penduduk. WHO memperkirakan di Indonesia setiap tahunnya terjadi 175.000 kematian akibat TB dan terdapat 550.000 kasus TB. Sedangkan data Departemen Kesehatan pada tahun 2001 di Indonesia terdapat 50.443 penderita dengan TB BTA (+) yang diobati (23% dari perkiraan penderita TB BTA (+). ¾ dari kasus berusia 15 – 49 tahun dan baru 20% yang tercakup dalam program pembrantasan TB yang dilaksanakan pemerintah.
Hasil Survey Prevalensi TB di Indonesia tahun 2004 menunjukkan bahwa angka prevalensi TB BTA positif secara Nasional 110 per 100.000 penduduk. Secara Regional prevalensi TB BTA positif di Indonesia dikelompokkan dalam 3 wilayah, yaitu: 1. wilayah Sumatera angka prevalensi TB adalah 160 per 100.000 penduduk; 2. wilayah Jawa dan Bali angka prevalensi TB adalah 110 per 100.000 penduduk; 3. wilayah Indonesia Timur angka prevalensi TB adalah 210 per 100.000 penduduk. Khusus untuk propinsi DIY dan Bali angka prevalensi TB adalah 68 per 100.000 penduduk. Mengacu pada hasil survey prevalensi tahun 2004, diperkirakan penurunan insiden TB BTA positif secara Nasional 3-4 % setiap tahunnya.
Sekitar 75% pasien TB adalah kelompok usia yang paling produktif secara ekonomis (15-50 tahun). Diperkirakan seorang pasien TB dewasa, akan kehilangan rata-rata waktu kerjanya 3 sampai 4 bulan. Hal tersebut berakibat pada kehilangan pendapatan tahunan rumah tangganya sekitar 20-30%. Jika ia meninggal akibat TB, maka akan kehilangan pendapatannya sekitar 15 tahun. Selain merugikan secara ekonomis, TB juga memberikan dampak buruk lainnya secara sosial stigma bahkan dikucilkan oleh masyarakat.