BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Resusitasi jantung paru
adalah suatu tindakan pertolongan yang dilakukan kepada korban yang mengalami
henti napas dan henti jantung. Keadaan ini bisa disebabkan karena korban
mengalami serangan jantung (heart attack), tenggelam, tersengat arus listrik, keracunan,
kecelakaan dan lain-lain. Pada kondisi napas dan denyut jantung berhenti maka
sirkulasi darah dan transportasi oksigen berhenti, sehingga dalam waktu singkat
organ-organ tubuh terutama organ fital akan mengalami kekurangan oksigen yang
berakibat fatal bagi korban dan mengalami kerusakan.
Organ yang paling cepat
mengalami kerusakan adalah otak, karena otak hanya akan mampu bertahan jika ada
asupan gula/glukosa dan oksigen. Jika dalam waktu lebih dari 10 menit otak
tidak mendapat asupan oksigen dan glukosa maka otak akan mengalami kematian
secara permanen. Kematian otak berarti pula kematian si korban. Oleh karena itu
GOLDEN PERIOD (waktu emas) pada korban yang mengalami henti napas dan henti
jantung adalah dibawah 10 menit. Artinya dalam watu kurang dari 10 menit
penderita yang mengalami henti napas dan henti jantung harus sudah mulai
mendapatkan pertolongan. Jika tidak, maka harapan hidup si korban sangat kecil.
Adapun pertolongan yang harus dilakukan pada penderita yang mengalami henti
napas dan henti jantung adalah dengan melakukan resusitasi jantung paru / CPR.
1.2 Rumusan
Masalah
1.2.1
Apa yang dimaksud dengan BLS?
1.2.2
Bagaimana langkah-langkah BLS?
1.2.3
Apa perbedaaan
langkah-langkah BLS sistem ABC dengan CAB?
1.2.4
Bagaimana penggunaan
sistem ABC saat ini?
1.2.5
Apa yang dimaksud dengan
Emergency Medical Service?
1.3 Tujuan
1.3.1
Tujuan Khusus
Agar
mahasiswa memahami tentang BLS serta
langkah-langkahnya.
1.3.2
Tujuan Umum
a)
Agar mahasiswa memahami tentang pengertian BLS.
b)
Agar mahasiswa memahami tentang langkah-langkah BLS.
c)
Agar mahasiswa memahami tentang perbedaaan
langkah-langkah BLS sistem ABC dengan CAB.
d)
Agar mahasiswa memahami tentang penggunaan
sistem ABC saat ini.
e)
Agar mahasiswa memahami tentang
Emergency Medical Service
BAB 2
TINJAUAN TEORI
2.1 Pengertian BLS
Resusitasi jantung paru (RJP) merupakan usaha yang dilakukan untuk
mengembalikan fungsi pernafasan dan atau sirkulasi pada henti nafas
(respiratory arrest) dan atau henti jantung (cardiac arrest). Resusitasi
jantung paru otak dibagi dalam tiga fase : bantuan hidup dasar,
bantuan hidup lanjut, bantuan hidup jangka lama.
Namun pada pembahasan kali ini lebih difokuskan pada Bantuan Hidup Dasar.
Bantuan Hidup Dasar (Basic Life Support, disingkat BLS) adalah suatu tindakan penanganan
yang dilakukan dengan sesegera mungkin dan bertujuan untuk menghentikan proses
yang menuju kematian.
Menurut AHA Guidelines tahun 2005, tindakan BLS ini
dapat disingkat dengan teknik ABC yaitu airway
atau membebaskan jalan nafas, breathing
atau memberikan nafas buatan, dan circulation
atau pijat jantung pada posisi shock. Namun pada tahun 2010 tindakan BLS
diubah menjadi CAB (circulation,
breathing, airway). Tujuan utama dari BLS adalah untuk melindungi otak dari
kerusakan yang irreversibel akibat
hipoksia, karena peredaran darah akan berhenti selama 3-4 menit.
2.2
Langkah-Langkah
BLS (Sistem CAB)
1.
Memeriksa keadaan pasien,
respon pasien, termasuk mengkaji ada / tidak
adanya nafas secara visual tanpa teknik Look
Listen and Feel.
2.
Melakukan panggilan darurat.
3.
Circulation :
·
Meraba dan menetukan denyut
nadi karotis. Jika ada denyut nadi maka dilanjutkan dengan memberikan bantuan
pernafasan, tetapi jika tidak ditemukan denyut nadi, maka dilanjutkan dengan
melakukan kompresi dada.
·
Untuk penolong non petugas
kesehatan tidak dianjurkan untuk memeriksa denyut nadi korban.
·
Pemeriksaan denyut nadi ini
tidak boleh lebih dari 10 detik.
·
Lokasi kompresi berada pada
tengah dada korban (setengah bawah sternum). Penentuan lokasi ini dapat
dilakukan dengan cara tumit dari tangan yang pertama diletakkan di atas
sternum, kemudian tangan yang satunya diletakkan di atas tangan yang sudah
berada di tengah sternum. Jari-jari tangan dirapatkan dan diangkat pada waktu
penolong melakukan tiupan nafas agar tidak menekan dada.

Gambar
1 Posisi tangan
·
Petugas berlutut jika korban
terbaring di bawah, atau berdiri disamping korban jika korban berada di tempat
tidur

Gambar
2 Chest compression
·
Kompresi dada dilakukan
sebanyak satu siklus (30 kompresi, sekitar 18 detik)
·
Kecepatan kompresi diharapkan
mencapai sekitar 100 kompresi/menit. Kedalaman kompresi untuk dewasa minimal 2
inchi (5 cm), sedangkan untuk bayi minimal sepertiga dari diameter
anterior-posterior dada atau sekitar 1 ½ inchi (4 cm) dan untuk anak sekitar 2
inchi (5 cm).
4.
Airway. Korban
dengan tidak ada/tidak dicurgai cedera tulang belakang maka bebaskan jalan
nafas melalui head tilt– chin lift. Caranya dengan meletakkan satu tangan pada
dahi korban, lalu mendorong dahi korban ke belakang agar kepala menengadah dan
mulut sedikit terbuka (Head Tilt)
Pertolongan ini dapat ditambah dengan mengangkat dagu (Chin Lift). Namun jika korban dicurigai cedera tulang belakang maka
bebaskan jalan nafas melalui jaw thrust
yaitu dengan mengangkat dagu sehingga deretan gigi Rahang Bawah berada lebih ke
depan daripada deretan gigi Rahang Atas.

Gambar
3 Head Tilt & Chin Lift

Gambar
4 Jaw Thrust
5.
Breathing.
Berikan ventilasi sebanyak 2 kali. Pemberian ventilasi dengan jarak 1 detik
diantara ventilasi. Perhatikan kenaikan dada korban untuk memastikan volume
tidal yang masuk adekuat. Untuk pemberian mulut ke mulut langkahnya sebagai
berikut :
·
Pastikan hidung korban terpencet rapat
·
Ambil nafas seperti biasa
(jangan terelalu dalam)
·
Buat keadaan mulut ke mulut
yang serapat mungkin
·
Berikan satu ventilasi tiap
satu detik
·
Kembali ke langkah ambil
nafas hingga berikan nafas kedua selama satu detik.

Gambar
5 Pernafasan mulut ke mulut
·
Jika tidak memungkinkan untuk
memberikan pernafasan melalui mulut korban dapat dilakukan pernafasan mulut ke
hidung korban.
·
Untuk pemberian melalui bag
mask pastikan menggunakan bag mask dewasa dengan volume 1-2 L agar dapat memeberikan
ventilasi yang memenuhi volume tidal sekitar 600 ml.
·
Setelah terpasang advance
airway maka ventilasi dilakukan dengan frekuensi 6 – 8 detik/ventilasi atau
sekitar 8-10 nafas/menit dan kompresi dada dapat dilakukan tanpa interupsi.
·
Jika pasien mempunyai denyut
nadi namun membutuhkan pernapasan bantuan, ventilasi dilakukan dengan kecepatan
5-6 detik/nafas atau sekitar 10-12 nafas/menit dan memeriksa denyut nadi
kembali setiap 2 menit.
·
Untuk satu siklus
perbandingan kompresi dan ventilasi adalah 30 : 2, setelah terdapat advance
airway kompresi dilakukan terus menerus dengan kecepatan 100 kali/menit dan
ventilasi tiap 6-8 detik/kali.
6.
RJP terus dilakukan hingga
alat defibrilasi otomatis datang, pasien bangun, atau petugas ahli datang. Bila
harus terjadi interupsi, petugas kesehatan sebaiknya tidak memakan lebih dari
10 detik, kecuali untuk pemasangan alat defirbilasi otomatis atau pemasangan
advance airway.
7.
Alat defibrilasi otomatis.
Penggunaanya sebaiknya segera dilakukan setelah alat tersedia/datang ke tempat
kejadian. Pergunakan program/panduan yang telah ada, kenali apakah ritme
tersebut dapat diterapi kejut atau tidak, jika iya lakukan terapi kejut
sebanyak 1 kali dan lanjutkan RJP selama 2 menit dan periksa ritme kembali.
Namun jika ritme tidak dapat diterapi kejut lanjutkan RJP selama 2 menit dan
periksa kembali ritme. Lakukan terus langkah tersebut hingga petugas ACLS
(Advanced Cardiac Life Support ) datang, atau korban mulai bergerak.
2.3
Perbedaaan
Langkah-Langkah BLS Sistem ABC dengan CAB
No
|
ABC
|
CAB
|
1
|
Memeriksa respon pasien
|
Memeriksa respon pasien termasuk ada/tidaknya nafas secara
visual.
|
2
|
Melakukan panggilan darurat dan mengambil AED
|
Melakukan panggilan darurat
|
3
|
Airway (Head Tilt, Chin
Lift)
|
Circulation (Kompresi dada dilakukan sebanyak satu siklus 30
kompresi, sekitar 18 detik)
|
4
|
Breathing (Look, Listen,
Feel, dilanjutkan memberi 2x ventilasi dalam-dalam)
|
Airway (Head Tilt, Chin
Lift)
|
5
|
Circulation (Kompresi
jantung + nafas buatan (30 : 2))
|
Breathing ( memberikan ventilasi sebanyak 2 kali, Kompresi jantung + nafas
buatan (30 : 2))
|
6
|
|
Defribilasi
|
Alasan untuk perubahan sistem
ABC menjadi CAB adalah :
·
Henti jantung terjadi
sebagian besar pada dewasa. Angka keberhasilan kelangsungan hidup tertinggi
dari pasien segala umur yang dilaporkan adalah henti jantung dan ritme
Ventricular Fibrilation (VF) atau pulseless Ventrivular Tachycardia (VT). Pada
pasien tersebut elemen RJP yang paling penting adalah kompresi dada (chest
compression) dan defibrilasi otomatis segera (early defibrillation).
·
Pada langkah A-B-C yang
terdahulu kompresi dada seringkali tertunda karena proses pembukaan jalan nafas (airway) untuk
memberikan ventilasi mulut ke mulut atau mengambil alat pemisah atau alat
pernafasan lainnya. Dengan mengganti langkah menjadi C-A-B maka kompresi dada
akan dilakukan lebih awal dan ventilasi hanya sedikit tertunda satu siklus
kompresi dada (30 kali kompresi dada secara ideal dilakukan sekitar 18 detik).
·
Kurang dari 50% orang yang
mengalami henti jantung mendapatkan RJP dari orang sekitarnya. Ada banyak
kemungkinan penyebab hal ini namun salah satu yang menjadi alasan adalah dalam
algoritma A-B-C, pembebasan jalan nafas dan ventilasi mulut ke mulut dalam Airway
adalah prosedur yang kebanyakan ditemukan paling sulit bagi orang awam. Memulai
dengan kompresi dada diharapkan dapat menyederhanakan prosedur sehingga semakin
banyak korban yang bisa mendapatkan RJP. Untuk orang yang enggan melakukan
ventilasi mulut ke mulut setidaknya
dapat melakukan kompresi dada.
2.4
Penggunaan
Sistem ABC Saat ini :
1.
Pada korban tenggelam atau henti nafas maka
petugas sebaiknya melakukan RJP konvensional (A-B-C) sebanyak 5 siklus (sekitar
2 menit) sebelum mengaktivasi sistem respon darurat.
2.
Pada bayi baru lahir,
penyebab arrest kebanyakan adalah pada sistem pernafasan maka RJP sebaiknya
dilakukan dengan siklus A-B-C kecuali terdapat penyebab jantung yang diketahui.
2.5 Emergency Medical Service
Upaya
Pertolongan terhadap penderita
gawat darurat harus dipandang sebagai satu system yang terpadu dan tidak terpecah-pecah. Sistem
mengandung pengertian adanya komponen-komponen yang saling berhubungan dan
saling mempengaruhi, mempunyai sasaran (output) serta dampak yang diinginkan
(outcome). Sistem yang bagus juga harus dapat diukur dengan melalui proses
evaluasi atau umpan balik yang berkelanjutan. Alasan kenapa upaya pertolongan
penderita harus dipandang sebagai satu system dapat diperjelas dengan skema di
bawah ini :
![]()
Dissaster
|
![]() |
![]() |
Rehabilitation
|
|
·
First Responder
·
Ambulance Service 24 jam
|
·
Emergency Room
·
Operating Room
·
Intensif Care Unit
·
Ward Care
|
·
Fisical
·
Psycological
·
Social
|
Berdasarkan
skema di atas, kualitas hidup penderita pasca cedera akan sangat bergantung
pada apa yang telah dia dapatkan pada periode Pre Hospital Stage bukan hanya
tergantung pada bantuan di fasilitas pelayanan kesehatan saja. Jika di tempat
pertama kali kejadian penderita mendapatkan bantuan yang optimal sesuai
kebutuhannya maka resiko kematian dan kecacatan dapat dihindari. Bisa
diilustrasikan dengan penderita yang terus mengalami perdarahan dan tidak
dihentikan selama periode Pre Hospital Stage, maka akan sampai ke rumah sakit
dalam kondisi gagal ginjal.
Begitu
cedera terjadi maka berlakulah apa yang disebut waktu emas (The Golden
periode). Satu jam pertama juga sangat menentukan sehingga dikenal istilah The Golden Hour. Setiap
detik sangat berharga bagi kelangsungan hidup penderita. Semakin panjang waktu
terbuang tanpa bantuan pertolongan yang memadai, semakin kecil harapan hidup
korban. Terdapat 3 faktor utama di Pre Hospital Stage yang berperan terhadap
kualitas hidup penderita nantinya yaitu :
Ø
Siapa penolong
pertamanya
Ø
Berapa lama ditemukannya
penderita,
Ø
kecepatan meminta bantuan
pertolongan
Penolong
pertama seharusnya orang awam yang terlatih dengan dukungan pelayanan ambulan
gawat darurat 24 jam. Ironisnya penolong pertama
di wilayah Indonesia sampai saat tulisan ini dibuat adalah orang
awam yang tidak terlatih dan minim pengetahuan tentang kemampuan pertolongan
bagi penderita gawat darurat.. Kecepatan penderita ditemukan sulit kita
prediksi tergantung banyak faktor seperti geografi, teknologi, jangkauan sarana
tranport dan sebagainya. Akan tetapi kualitas bantuan yang datang dan penolong
pertama di tempat kejadian dapat kita modifikasi.
Pada fase rumah
sakit, Unit Gawat Darurat berperan sebagai gerbang utama jalan masuknya
penderita gawat darurat. Kemampuan suatu fasilitas kesehatan secara keseluruhan
dalam hal kualitas dan kesiapan dalam perannya sebagai pusat rujukan penderita
dari pra rumah tercermin dari kemampuan unit ini. Standarisasi Unit Gawat
Darurat saat ini menjadi salah satu
komponen penilaian penting dalam perijinan dan akreditasi suatu rumah sakit.
Penderita dari ruang UGD dapat dirujuk ke unit perawatan intensif, ruang bedah
sentral, ataupun bangsal perawatan. Jika dibutuhkan, penderita dapat dirujuk ke
rumah sakit lain.
Uraian singkat
di atas kiranya cukup memberikan gambaran bahwa keberhasilan pertolongan bagi
penderita dengan criteria gawat darurat yaitu penderita yang terancam nyawa dan
kecacatan, akan dipengaruhi banyak factor sesuai fase dan tempat kejadian
cederanya. Pertolongan harus dilakukan secara harian 24 jam (daily
routine) yang terpadu dan terkordinasi dengan baik dalam satu system
yang dikenal dengan Sistem Pelayanan gawat Darurat Terpadu (SPGDT). Jika
bencana massal terjadi dengan korban banyak, maka pelayanan gawat darurat
harian otomatis ditingkatkan fungsinya menjadi pelayanan gawat darurat dalam
bencana (SPGDB). Tak bisa ditawar-tawar lagi, pemerintah harus mulai memikirkan
terwujudnya penerapan system pelayanan gawat darurat terpadu.
Komponen
penting yang harus disiapkan diantaranya :
1.
Sistem komunikasi
Kejelasan
kemana berita adanya kejadian gawat darurat disampaikan, akan memperpendek masa
pra rumah sakit yang dialami penderita. Pertolongan yang datang dengan segera
akan meminimalkan resiko-resiko penyulit lanjutan seperti syok hipovolemia
akibat kehilangan darah yang berkelanjutan, hipotermia akibat terpapar
lingkungan dingin dan sebagainya. Siapapun yang menemukan penderita pertama
kali di lokasi harus tahu persis kemana informasi diteruskan. Problemnya adalah
bagaimana masyarakat dapat dengan mudah meminta tolong, bagaimana cara
membimbing dan mobilisasi sarana tranportasi (Ambulan), bagaimana kordinasi
untuk mengatur rujukan, dan bagaimana komunikasi selama bencana berlangsung.
2.
Pendidikan
Penolong
pertama seringkali orang awam yang tidak memiliki kemampuan menolong yang
memadai sehingga dapat dipahami jika penderita dapat langsung meninggal
ditempat kejadian atau mungkin selamat sampai ke fasilitas kesehatan dengan
mengalami kecacatan karena cara tranport yang salah. Penderita dengan kegagalan
pernapasan dan jantung kurang dari 4-6 menit dapat diselamatkan dari kerusakan
otak yang ireversibel. Syok karena kehilangan darah dapat dicegah jika sumber
perdarahan diatasi, dan kelumpuhan dapat dihindari jika upaya evakuasi &
tranportasi cedera spinal dilakukan dengan benar. Karena itu orang awam yang
menjadi penolong pertama harus menguasai lima kemampuan dasar yaitu :
·
Menguasai cara meminta bantuan
pertolongan
·
Menguasai teknik bantuan hidup
dasar (resusitasi jantung paru)
·
Menguasai teknik mengontrol
perdarahan
·
Menguasai teknik memasang
balut-bidai
·
Menguasai teknik evakuasi dan
tranportasi
Golongan
orang awam lain yang sering berada di tempat umum karena bertugas sebagai
pelayan masyarakat seperti polisi,
petugas kebakaran, tim SAR atau guru harus memiliki kemampuan tambahan lain
yaitu menguasai kemampuan menanggulangi keadaan gawat darurat dalam kondisi :
·
Penyakit anak
·
Penyakit dalam
·
Penyakit saraf
·
Penyakit Jiwa
·
Penyakit Mata dan telinga
·
Dan lainya sesuai kebutuhan
sistem
Penyebarluasan
kemampuan sebagai penolong pertama dapat diberikan kepada masyarakat yang awam
dalam bidang pertolongan medis baik secara formal maupun informal secara
berkala dan berkelanjutan. Pelatihan formal di intansi-intansi harus
diselenggarakan dengan menggunakan kurikulum yang sama, bentuk sertifikasi yang
sama dan lencana tanda lulus yang sama. Sehingga penolong akan memiliki
kemampuan yang sama dan memudahkan dalam memberikan bantuan dalam keadaan
sehari-hari ataupun bencana masal.
3.
Tranportasi
Alat
tranportasi yang dimaksud adalah kendaraannya, alat-alatnya dan personalnya.
Tranportasi penderita dapat dilakukan melalui darat, laut dan udara. Alat
tranportasi penderita ke rumah sakit saat ini masih dilakukan dengan kendaraan
yang bermacam-macam kendaraan tanpa kordinasi yang baik. Hanya sebagian kecil
yang dilakukan dengan ambulan, itupun dengan ambulan biasa yang tidak memenuhi
standar gawat darurat. Jenis-jenis ambulan untuk suatu wilayah dapat
disesuaikan dengan kondisi lokal untuk pelayanan harian dan bencana.
4.
Pendanaan
Sumber
pendanaan cukup memungkinkan karena system asuransi yang kini berlaku di
Indonesia. Pegawai negeri punya ASKES, pegawai swasta memiliki jamsostek,
masyarakat miskin mempunyai ASKESKIN. Orang berada memiliki asuransi jiwa
5.
Quality Control
Penilaian,
perbaikan dan peningkatan system harus dilakukan secara periodic untuk menjamin
kualitas pelayanan sesuai tujuan.
BAB 3
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Bantuan Hidup Dasar (Basic Life Support, disingkat BLS) adalah suatu tindakan penanganan
yang dilakukan dengan sesegera mungkin dan bertujuan untuk menghentikan proses
yang menuju kematian. Langkah BLS yaitu
Memeriksa respon pasien termasuk ada/tidaknya nafas secara visual, Melakukan panggilan darurat, Circulation (Kompresi dada
dilakukan sebanyak satu siklus 30 kompresi, sekitar 18 detik), Airway (Head Tilt, Chin Lift), Breathing
( memberikan ventilasi sebanyak 2 kali, Kompresi jantung + nafas
buatan (30 : 2)), Defribilasi. Skema dari EMC yaitu Injury, Pre Hospital stage,
Hospital Satge, dan Rehabilitation.
3.2
Saran
Bagi mahasiswa keperawatan
disaeankan memahami tentang BLS karena kejadian kegawatdaruratan dapat kita
jumpai dimana saja dan kapan saja, sehingga dapat menjadi bekal kita untuk
menolong orang lain.
DAFTAR PUSTAKA
Muhammad Ashar. Maret 2011. Planning cardiac emergency medical service with Mobile
application in aceh rural. http://www.acehpublication.com/adic2011/ADIC2011-039.pdf. diakses Kamis,
20 September 2012 pukul 08:30 WIB.
Tirti Lasprita. 3 September 2012.
Bantuan Hidup Dasar (BLS). http://www.scribd.com/doc/84871056/Bantuan-Hidup-Dasar. diakses Kamis, 20 September 2012 pukul 08:30 WIB.
Trima kasih...ini sangat menambah pengetahuan saya...
BalasHapus